www.gunadarma.ac.id
Nama : Metha Ardiah
NPM : 24210370
Kelas : 2EB20
Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono mengingatkan sekaligus meminta kepada semua pihak tidak menyamaratakan dan memaksakan semua jenis kekerasan oleh aparat, dalam hal ini terkait Tentara Nasional Indonesia (TNI), sebagai suatu bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat.
Tidak cuma itu, Juwono juga menilai tuduhan TNI melakukan pelanggaran HAM berat di masa lalu, seperti dalam kasus Talangsari di Lampung, peristiwa Mei 1998, atau kasus penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998, adalah tuduhan yang bersifat anekdotal. Pernyataan itu disampaikan Juwono, dalam jumpa pers usai membuka Seminar Nasional HAM dan Pertahanan Negara bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Departemen Pertahanan.
Sebagai penyelenggara negara TNI berhak dan berwenang menyelenggarakan kekerasan negara atau disebut the monopoly of legitimate violence dengan mengatasnamakan keselamatan bangsa, pengamanan kedaulatan, dan keutuhan wilayah.
Sejumlah pihak hadir berbicara, seperti Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Muladi, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Edy Prasetyono, Koordinator Kontras Usman Hamid, dan Kepala Badan Pembinaan Hukum Mabes TNI Laksda Henry Willem.
"Terkait kasus masa lalu, saya tekankan itu kasus anekdotal karena peristiwa (Talangsari) itu terjadi tidak sistematis atau sengaja menjadi kebijakan pemerintah Orde Baru. Hal seperti itulah yang harus di-clear-kan".
Dalam kasus Talangsari, menurut Juwono, masyarakat harus melihat pada masa itu terdapat upaya sejumlah kelompok mengganti dasar negara dengan agama tertentu dan mendirikan negara baru. Mereka lalu melakukan perlawanan bersenjata, yang menewaskan dua orang aparat TNI-Polri. Negara saat itu mencoba mengamankan.
"Jangan lalu diberitakan seakan-akan ada kesengajaan, upaya sistematis, dan itu kebijakan (Orba). Harus dilihat konteks saat itu dan peristiwanya. Sekelompok orang ingin mengganti Pancasila dan mengangkat senjata lalu membunuh aparat".
Dalam kesempatan yang sama Juwono juga mengingatkan, persoalan HAM harus dilihat secara utuh, tidak sekadar masalah yang terkait hak sipil dan politik melainkan juga soal ekonomi, sosial, dan budaya. Semua aspek itu harus ada, utuh, dan proporsional. Jangan hitam-putih.
Sementara itu, dalam pidato tertulis yang dibacakan Laksda Henry Willem, Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso menegaskan bahwa institusinya selama ini sangat berkomitmen, paham, menghargai, dan menghormati, serta berkomitmen tinggi pada HAM. Tidak hanya itu, pada hakikatnya kelahiran Republik Indonesia juga merupakan bentuk upaya membebaskan diri dari penindasan HAM oleh bangsa lain.
Tidak hanya itu, Indonesia juga punya paham perang dan falsafah dasar pertahanan, yang menegaskan cinta damai, tetapi lebih mencintai kemerdekaan. Seandainya dalam pelaksanaan (tugas pertahanan) ada yang dinilai eksesif, melampaui prosedur, dan tidak sesuai harapan bersama, hal itu adalah hak semua pihak untuk menilai.
"Akan tetapi kami harap, jangan setiap persoalan dibaca hitam-putih belaka". Pandangan hitam-putih macam itulah yang menurut Djoko hanya akan menimbulkan cara pandang dan pemahaman yang tidak linear di antara semua pihak, apalagi mengingat antara HAM dan pertahanan (disingkat Han) punya titik berangkat yang sama sekali berbeda.
Menurut Djoko, masalah pertahanan (Han) berangkat dari tugas dan kewajiban serta terkait apa yang dapat kita berikan maupun korbankan, sementara masalah HAM lebih terkait masalah hak, dalam arti apa yang dapat diperoleh.
Tugas konvensional militer dan pertahanan pada umumnya berperang dengan menggunakan mesin kekerasan untuk berbuat kekerasan terhadap yang melakukan kekerasan."Jika hal itu dihadap-hadapkan secara hitam-putih dengan HAM tentunya tidak akan pernah sejalan".
Sementara itu, dalam jumpa pers Muladi juga menambahkan, suatu peristiwa hanya bisa dikategorikan menjadi pelanggaran HAM berat jika sudah terbukti kejadian itu bersifat sistematis, meluas, direncanakan, dan organisasional.
Jika tidak dapat dibuktikan, tambah Muladi, peristiwa itu hanyalah tindak pidana biasa dan penuntasannya cukup dengan menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) biasa.
"Kalau tidak bisa dibuktikan, ya gunakan saja KUHP. Batasan soal itu kan sudah jelas. Jadi jangan dipaksakan harus menjadi pelanggaran HAM berat hanya karena menyangkut TNI. Kita harus sportif dan jujur, TNI juga sudah melakukan reformasi besar-besaran sejak tahun 1998. Hal itu sangat luar biasa".
Lebih lanjut, tambah Muladi, saat ini Indonesia berada dalam paksaan dunia internasional untuk mengakui aturan yang melarang pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif (surut). Padahal, di dunia internasional sendiri masih terdapat ambivalensi tentang hal tersebut.
Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2008/12/18/21330044/jangan.samakan.semua.kekerasan.tni.melanggar.ham
Tidak ada komentar:
Posting Komentar