www.gunadarma.ac.id
Nama : Metha Ardiah
NPM : 24210370
Kelas : 2EB20
Sepanjang sejarah pendidikan di Indonesia, segala kebijakan yang menyangkut praksis pendidikan tidak lekang dari kritik, termasuk yang asal beda dengan kebijakan pemerintah. Ketika reformasi dan sesudahnya berjalan dalam suasana ”serba boleh” atas nama demokrasi, sikap menggugat terhadap kebijakan praksis pendidikan semakin besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Sifat hubungan antara negara dan warga yang resiprokal seharusnya lebih tegas oleh kesetaraan tiga lembaga tinggi negara—legislatif, yudikatif, dan eksekutif—dalam praktik justru warga merasa harus berjuang merebut nasib baiknya sendiri. Mereka yang duduk dalam lembaga legislatif, dengan kedudukan konstitusional sebagai ”wakil rakyat”, sering tidak tampil memperjuangkan kepentingan rakyat banyak. Apa yang terjadi belakangan ini di lembaga perwakilan rakyat justru membuat rakyat tertegun. Praktik korupsi dan kolusi tidak kalah marak dari lembaga eksekutif dan yudikatif, yang sebenarnya merupakan representasi dari apa yang hidup dalam partai- partai politik—salah satu pilar demokratisasi.
Dari sisi praktis, kadang terasa semakin jelasnya kesetaraan itu membuat kebijakan dan keputusan pemerintah kagok, serba salah, mandek. Padahal, dalam kasus tertentu, dibutuhkan sikap ketegasan ”maju terus” seperti digambarkan dalam cita-cita negara modern Max Weber dengan adanya birokrasi tangguh dan kedudukan sentral negara atas warga.
Seabad Kebangkitan Nasional, 80 tahun Sumpah Pemuda, 10 tahun Reformasi menunjukkan keterpurukan hubungan antara negara dan warganya itu meresahkan. Semua orang mengeluh. Pelaku bisnis merasa tak ada kepastian hukum. Pemerintah gamang menghadapi perilaku preman atas nama agama. Para pekerja mengeluh, kelompok minoritas merasa ditinggalkan, tidak ada teman, begitu juga kelompok masyarakat miskin merasa dibiarkan sendiri mengais-ngais makanan sehari-hari.
Gempuran globalisasi sebagai anak kandung neoliberalisme dengan sisi negatifnya praktik ekonomi kapitalistis memperparah keadaan pascareformasi. Kesenjangan kelompok kaya dan miskin, yang memperoleh akses informasi dan yang kurang memperolehnya, upaya gencar pemberantasan korupsi yang eloknya dibarengi semakin masifnya korupsi, pilkada atas nama otonomi yang semua berakhir ricuh, dan seterusnya— menandai suasana serba kontras yang memunculkan kekhawatiran failed country (negara yang gagal).
Praksis pendidikan
Di bidang praksis pendidikan—bidang yang melibatkan warga tanpa kecuali—selama pascareformasi mengalami tiga distorsi. Menurut mantan Rektor UGM, Sofian Effendi, dalam diskusi terbatas Forum Mangunwijaya III di Yogyakarta, ketiga distorsi itu meliputi distorsi proses, distorsi mutu, dan distorsi pendekatan. Ujian akhir nasional yang dari tahun ke tahun diprotes warga dan pemerintah tidak ambil peduli, ditambah jumlah mata pelajaran yang diujikan dari tahun ke tahun, sebenarnya mengacaukan antara penilaian terhadap prestasi siswa (student assessment) dan evaluasi kurikulum (curriculum evaluation).
UAN adalah evaluasi untuk menguji compliance antara kurikulum sekolah dan standar kurikulum nasional, khususnya untuk mata pelajaran yang diujikan dari tiga menjadi enam mata pelajaran di SMA. Ada ”reduksi” besar-besaran dalam pembelajaran karena sadar atau tidak untuk mengejar tingkat kelulusan yang tinggi—tahun ini mengalami penurunan secara nasional dibandingkan tahun lalu—hanya mata pelajaran yang diujikan secara nasional yang memperoleh porsi pembelajaran lebih intensif dibandingkan mata pelajaran lain.
Rendahnya mutu dan relevansi hasil pendidikan—pada tahun 1968 Beeby, peneliti dari Australia, pun sudah menemukan persoalan ini—semakin terlihat nyata dari menurunnya peringkat mutu pendidikan Indonesia dibandingkan negara-negara tetangga. Pada tahun 1970-an Indonesia membanggakan diri setingkat dengan Malaysia, misalnya, tahun-tahun ini Indonesia justru hanya berada satu tingkat di atas Laos, Myanmar, dan Kamboja. Vietnam sudah melejit, terutama untuk pendidikan dasar. ”Link and Match” yang pernah dicobakan, tidak berlanjut, justru karena dalam proses terlalu menekankan aspek keterampilan—dan lagi-lagi, sikap kritis dan ”rasa memiliki” terhadap praksis pendidikan membuat kebijakan itu terhenti.
Distorsi pendekatan terjadi karena kurang disadarinya potensi hubungan asimetris negara berkembang akibat gempuran globalisasi. Janji akses ke pasar global justru meminggirkan negara berkembang karena ketidaksiapan infrastruktur dan mutu sumber daya manusia. Negara maju yang menguasai informasi memiliki kemampuan kelembagaan dan kemampuan bernegosiasi dibandingkan negara berkembang seperti Indonesia. Globalisasi menghadapkan Indonesia dalam posisi mudah didominasi corporate state yang kuat.
Ketiga distorsi itu menyebabkan terjadinya involusi pendidikan, meminjam istilah Clifford Geertz, dalam arti terjadinya intensifikasi bidang pendidikan dalam bentuk pendidikan massal dengan mengurangi keanekaragaman pendidikan sehingga tidak sesuai kebutuhan nasional. Involusi ini menyebabkan terjadinya penyimpangan pendidikan dari nilai-nilai dasar dalam UUD 1945. Praksis pendidikan disempitkan sekadar kegiatan transfer ilmu pengetahuan, sementara nilai-nilai yang tercantum dalam ideologi Pancasila, seperti semangat kebangsaan dan kewargaan Indonesia yang pluralistik dikebelakangkan. Praksis pendidikan ditempatkan sebagai kegiatan perdagangan, bukan kegiatan kebudayaan.
Tawaran jalan keluar dalam diskusi tersebut antara lain membuka akses agar terbangun hubungan simetris lebih baik antara negara dan warga, khususnya bidang praksis pendidikan. Di antaranya, bagaimana faktor-faktor penekan, seperti membangun kebersamaan lewat pajak, semakin diberi akses. Terus-menerus dikembangkan kesadaran tentang tujuan utama pendidikan nasional bukanlah semata-mata mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi. Penyadaran bersama konstitusi UUD 45 yang berlanjut pada keputusan konstitusional berikut implementasinya bahwa pendidikan bukanlah bidang usaha jasa, tetapi usaha sosial, politik, dan kultural untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Itulah tanggung jawab kita bersama!
Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2008/07/03/23354243/peningkatan.keterdidikan.mengalami.tiga.distorsi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar