Selasa, 27 Maret 2012

Jangan Samakan Semua Kekerasan TNI Melanggar HAM

www.gunadarma.ac.id
Nama : Metha Ardiah
NPM : 24210370
Kelas : 2EB20

Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono mengingatkan sekaligus meminta kepada semua pihak tidak menyamaratakan dan memaksakan semua jenis kekerasan oleh aparat, dalam hal ini terkait Tentara Nasional Indonesia (TNI), sebagai suatu bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat.
Tidak cuma itu, Juwono juga menilai tuduhan TNI melakukan pelanggaran HAM berat di masa lalu, seperti dalam kasus Talangsari di Lampung, peristiwa Mei 1998, atau kasus penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998, adalah tuduhan yang bersifat anekdotal. Pernyataan itu disampaikan Juwono, dalam jumpa pers usai membuka Seminar Nasional HAM dan Pertahanan Negara bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Departemen Pertahanan.
Sebagai penyelenggara negara TNI berhak dan berwenang menyelenggarakan kekerasan negara atau disebut the monopoly of legitimate violence dengan mengatasnamakan keselamatan bangsa, pengamanan kedaulatan, dan keutuhan wilayah.
Sejumlah pihak hadir berbicara, seperti Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Muladi, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Edy Prasetyono, Koordinator Kontras Usman Hamid, dan Kepala Badan Pembinaan Hukum Mabes TNI Laksda Henry Willem.
"Terkait kasus masa lalu, saya tekankan itu kasus anekdotal karena peristiwa (Talangsari) itu terjadi tidak sistematis atau sengaja menjadi kebijakan pemerintah Orde Baru. Hal seperti itulah yang harus di-clear-kan".
Dalam kasus Talangsari, menurut Juwono, masyarakat harus melihat pada masa itu terdapat upaya sejumlah kelompok mengganti dasar negara dengan agama tertentu dan mendirikan negara baru. Mereka lalu melakukan perlawanan bersenjata, yang menewaskan dua orang aparat TNI-Polri. Negara saat itu mencoba mengamankan.
"Jangan lalu diberitakan seakan-akan ada kesengajaan, upaya sistematis, dan itu kebijakan (Orba). Harus dilihat konteks saat itu dan peristiwanya. Sekelompok orang ingin mengganti Pancasila dan mengangkat senjata lalu membunuh aparat".
Dalam kesempatan yang sama Juwono juga mengingatkan, persoalan HAM harus dilihat secara utuh, tidak sekadar masalah yang terkait hak sipil dan politik melainkan juga soal ekonomi, sosial, dan budaya. Semua aspek itu harus ada, utuh, dan proporsional. Jangan hitam-putih.
Sementara itu, dalam pidato tertulis yang dibacakan Laksda Henry Willem, Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso menegaskan bahwa institusinya selama ini sangat berkomitmen, paham, menghargai, dan menghormati, serta berkomitmen tinggi pada HAM. Tidak hanya itu, pada hakikatnya kelahiran Republik Indonesia juga merupakan bentuk upaya membebaskan diri dari penindasan HAM oleh bangsa lain.
Tidak hanya itu, Indonesia juga punya paham perang dan falsafah dasar pertahanan, yang menegaskan cinta damai, tetapi lebih mencintai kemerdekaan. Seandainya dalam pelaksanaan (tugas pertahanan) ada yang dinilai eksesif, melampaui prosedur, dan tidak sesuai harapan bersama, hal itu adalah hak semua pihak untuk menilai.
"Akan tetapi kami harap, jangan setiap persoalan dibaca hitam-putih belaka". Pandangan hitam-putih macam itulah yang menurut Djoko hanya akan menimbulkan cara pandang dan pemahaman yang tidak linear di antara semua pihak, apalagi mengingat antara HAM dan pertahanan (disingkat Han) punya titik berangkat yang sama sekali berbeda.
Menurut Djoko, masalah pertahanan (Han) berangkat dari tugas dan kewajiban serta terkait apa yang dapat kita berikan maupun korbankan, sementara masalah HAM lebih terkait masalah hak, dalam arti apa yang dapat diperoleh.
Tugas konvensional militer dan pertahanan pada umumnya berperang dengan menggunakan mesin kekerasan untuk berbuat kekerasan terhadap yang melakukan kekerasan."Jika hal itu dihadap-hadapkan secara hitam-putih dengan HAM tentunya tidak akan pernah sejalan".
Sementara itu, dalam jumpa pers Muladi juga menambahkan, suatu peristiwa hanya bisa dikategorikan menjadi pelanggaran HAM berat jika sudah terbukti kejadian itu bersifat sistematis, meluas, direncanakan, dan organisasional.
Jika tidak dapat dibuktikan, tambah Muladi, peristiwa itu hanyalah tindak pidana biasa dan penuntasannya cukup dengan menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) biasa.
"Kalau tidak bisa dibuktikan, ya gunakan saja KUHP. Batasan soal itu kan sudah jelas. Jadi jangan dipaksakan harus menjadi pelanggaran HAM berat hanya karena menyangkut TNI. Kita harus sportif dan jujur, TNI juga sudah melakukan reformasi besar-besaran sejak tahun 1998. Hal itu sangat luar biasa".
Lebih lanjut, tambah Muladi, saat ini Indonesia berada dalam paksaan dunia internasional untuk mengakui aturan yang melarang pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif (surut). Padahal, di dunia internasional sendiri masih terdapat ambivalensi tentang hal tersebut.

Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2008/12/18/21330044/jangan.samakan.semua.kekerasan.tni.melanggar.ham

Kamis, 22 Maret 2012

Peningkatan Keterdidikan Mengalami Tiga Distorsi

www.gunadarma.ac.id
Nama : Metha Ardiah
NPM : 24210370
Kelas : 2EB20

 Sepanjang sejarah pendidikan di Indonesia, segala kebijakan yang menyangkut praksis pendidikan tidak lekang dari kritik, termasuk yang asal beda dengan kebijakan pemerintah. Ketika reformasi dan sesudahnya berjalan dalam suasana ”serba boleh” atas nama demokrasi, sikap menggugat terhadap kebijakan praksis pendidikan semakin besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Sifat hubungan antara negara dan warga yang resiprokal seharusnya lebih tegas oleh kesetaraan tiga lembaga tinggi negara—legislatif, yudikatif, dan eksekutif—dalam praktik justru warga merasa harus berjuang merebut nasib baiknya sendiri. Mereka yang duduk dalam lembaga legislatif, dengan kedudukan konstitusional sebagai ”wakil rakyat”, sering tidak tampil memperjuangkan kepentingan rakyat banyak. Apa yang terjadi belakangan ini di lembaga perwakilan rakyat justru membuat rakyat tertegun. Praktik korupsi dan kolusi tidak kalah marak dari lembaga eksekutif dan yudikatif, yang sebenarnya merupakan representasi dari apa yang hidup dalam partai- partai politik—salah satu pilar demokratisasi.
Dari sisi praktis, kadang terasa semakin jelasnya kesetaraan itu membuat kebijakan dan keputusan pemerintah kagok, serba salah, mandek. Padahal, dalam kasus tertentu, dibutuhkan sikap ketegasan ”maju terus” seperti digambarkan dalam cita-cita negara modern Max Weber dengan adanya birokrasi tangguh dan kedudukan sentral negara atas warga.
Seabad Kebangkitan Nasional, 80 tahun Sumpah Pemuda, 10 tahun Reformasi menunjukkan keterpurukan hubungan antara negara dan warganya itu meresahkan. Semua orang mengeluh. Pelaku bisnis merasa tak ada kepastian hukum. Pemerintah gamang menghadapi perilaku preman atas nama agama. Para pekerja mengeluh, kelompok minoritas merasa ditinggalkan, tidak ada teman, begitu juga kelompok masyarakat miskin merasa dibiarkan sendiri mengais-ngais makanan sehari-hari.
Gempuran globalisasi sebagai anak kandung neoliberalisme dengan sisi negatifnya praktik ekonomi kapitalistis memperparah keadaan pascareformasi. Kesenjangan kelompok kaya dan miskin, yang memperoleh akses informasi dan yang kurang memperolehnya, upaya gencar pemberantasan korupsi yang eloknya dibarengi semakin masifnya korupsi, pilkada atas nama otonomi yang semua berakhir ricuh, dan seterusnya— menandai suasana serba kontras yang memunculkan kekhawatiran failed country (negara yang gagal).
Praksis pendidikan
Di bidang praksis pendidikan—bidang yang melibatkan warga tanpa kecuali—selama pascareformasi mengalami tiga distorsi. Menurut mantan Rektor UGM, Sofian Effendi, dalam diskusi terbatas Forum Mangunwijaya III di Yogyakarta, ketiga distorsi itu meliputi distorsi proses, distorsi mutu, dan distorsi pendekatan. Ujian akhir nasional yang dari tahun ke tahun diprotes warga dan pemerintah tidak ambil peduli, ditambah jumlah mata pelajaran yang diujikan dari tahun ke tahun, sebenarnya mengacaukan antara penilaian terhadap prestasi siswa (student assessment) dan evaluasi kurikulum (curriculum evaluation).
UAN adalah evaluasi untuk menguji compliance antara kurikulum sekolah dan standar kurikulum nasional, khususnya untuk mata pelajaran yang diujikan dari tiga menjadi enam mata pelajaran di SMA. Ada ”reduksi” besar-besaran dalam pembelajaran karena sadar atau tidak untuk mengejar tingkat kelulusan yang tinggi—tahun ini mengalami penurunan secara nasional dibandingkan tahun lalu—hanya mata pelajaran yang diujikan secara nasional yang memperoleh porsi pembelajaran lebih intensif dibandingkan mata pelajaran lain.
Rendahnya mutu dan relevansi hasil pendidikan—pada tahun 1968 Beeby, peneliti dari Australia, pun sudah menemukan persoalan ini—semakin terlihat nyata dari menurunnya peringkat mutu pendidikan Indonesia dibandingkan negara-negara tetangga. Pada tahun 1970-an Indonesia membanggakan diri setingkat dengan Malaysia, misalnya, tahun-tahun ini Indonesia justru hanya berada satu tingkat di atas Laos, Myanmar, dan Kamboja. Vietnam sudah melejit, terutama untuk pendidikan dasar. ”Link and Match” yang pernah dicobakan, tidak berlanjut, justru karena dalam proses terlalu menekankan aspek keterampilan—dan lagi-lagi, sikap kritis dan ”rasa memiliki” terhadap praksis pendidikan membuat kebijakan itu terhenti.
Distorsi pendekatan terjadi karena kurang disadarinya potensi hubungan asimetris negara berkembang akibat gempuran globalisasi. Janji akses ke pasar global justru meminggirkan negara berkembang karena ketidaksiapan infrastruktur dan mutu sumber daya manusia. Negara maju yang menguasai informasi memiliki kemampuan kelembagaan dan kemampuan bernegosiasi dibandingkan negara berkembang seperti Indonesia. Globalisasi menghadapkan Indonesia dalam posisi mudah didominasi corporate state yang kuat.
Ketiga distorsi itu menyebabkan terjadinya involusi pendidikan, meminjam istilah Clifford Geertz, dalam arti terjadinya intensifikasi bidang pendidikan dalam bentuk pendidikan massal dengan mengurangi keanekaragaman pendidikan sehingga tidak sesuai kebutuhan nasional. Involusi ini menyebabkan terjadinya penyimpangan pendidikan dari nilai-nilai dasar dalam UUD 1945. Praksis pendidikan disempitkan sekadar kegiatan transfer ilmu pengetahuan, sementara nilai-nilai yang tercantum dalam ideologi Pancasila, seperti semangat kebangsaan dan kewargaan Indonesia yang pluralistik dikebelakangkan. Praksis pendidikan ditempatkan sebagai kegiatan perdagangan, bukan kegiatan kebudayaan.
Tawaran jalan keluar dalam diskusi tersebut antara lain membuka akses agar terbangun hubungan simetris lebih baik antara negara dan warga, khususnya bidang praksis pendidikan. Di antaranya, bagaimana faktor-faktor penekan, seperti membangun kebersamaan lewat pajak, semakin diberi akses. Terus-menerus dikembangkan kesadaran tentang tujuan utama pendidikan nasional bukanlah semata-mata mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi. Penyadaran bersama konstitusi UUD 45 yang berlanjut pada keputusan konstitusional berikut implementasinya bahwa pendidikan bukanlah bidang usaha jasa, tetapi usaha sosial, politik, dan kultural untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Itulah tanggung jawab kita bersama!

Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2008/07/03/23354243/peningkatan.keterdidikan.mengalami.tiga.distorsi

Deradikalisasi Harus Membumi

www.gunadarma.ac.id
Nama : Metha Ardiah
NPM : 24210370
Kelas : 2EB20

 Radikal berasal dari kata bahasa Latin, yaitu radix atau akar. Terorisme sebagai gerakan radikal berarti gerakan yang ”mengakar” karena suatu ideologi yang ditanamkan, cara-cara ekstrem yang digunakan, dan tujuan yang ingin dicapai.
Dalam peledakan bom di Jakarta terlihat ideologi yang terindoktrinasi mampu membuat seseorang menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan. Dalam penggerebekan tersangka teroris oleh polisi antiteror juga terlihat sel teroris yang produktif. Produknya jelas, seperti laboratorium bom, pelatihan kemiliteran, atau perekrutan anggota di segala lini kehidupan sosial.
Ibarat pohon, terorisme yang tidak dicegah dapat tumbuh dengan akar yang kuat, batang yang kokoh, daun yang lebat, dan berbuah banyak. Terorisme memang tidak cukup ditangani dengan penindakan hukum. Program deradikalisasi dan penindakan hukum perlu dijalankan secara simultan.
Persoalannya, bagaimana upaya deradikalisasi dan pencegahan bisa dilakukan? Jawaban atas pertanyaan itu menjadi program raksasa bangsa ini ke depan. Dengan demikian, diharapkan generasi Indonesia dalam 20 tahun mendatang semakin terhindar dari ancaman terorisme.
Ada beberapa narapidana (napi) teroris yang tertangkap kembali setelah bebas dari lembaga pemasyarakatan (LP), seperti Luthfi Haedaroh alias Ubeid dan Abdullah Sonata. Ini merupakan salah satu fenomena yang dapat menunjukkan deradikalisasi belum berjalan.
Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Ito Sumardi, akhir Juli lalu, mengungkapkan, sistem peradilan belum sepenuhnya mendukung upaya pencegahan terorisme.
Ito mencontohkan, masih ada tuntutan hukum yang belum sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan terdakwa teroris. Selain itu, hakim yang memeriksa perkara terorisme juga belum sepenuhnya memahami kejahatan ini secara lebih rinci.
Ito menambahkan, pembinaan terhadap napi teroris di penjara juga perlu diperhatikan lebih serius. Karena itu, ia mengusulkan adanya LP khusus bagi napi teroris.
Sistem peradilan
Selain sistem peradilan, program deradikalisasi benar-benar harus diimplementasikan di berbagai lini. Dengan demikian, kekuatan akar yang menjadi penopang gerakan radikal melemah dan ”pohon” terorisme itu menjadi layu.
Deradikalisasi perlu dimulai dari lingkungan keluarga, pendidikan dasar sampai perguruan tinggi, lingkungan sosial, dari tingkat rukun tetangga sampai provinsi, lembaga keagamaan, pembinaan di LP dan pasca-pembinaan di LP, sampai program sektoral yang komprehensif dan melibatkan kementerian terkait.
Di lingkungan keluarga, misalnya, bagaimana mendidik dan menanamkan nilai ajaran iman dan agama secara rasional dan sejuk, serta menghindari atau menjauhi berbagai bentuk kekerasan dalam kehidupan keluarga.
Di tingkat pendidikan, tenaga pendidik di sekolah sampai Kementerian Pendidikan Nasional perlu memiliki program deradikalisasi yang konkret dan dapat terimplementasi. Dengan demikian, proses radikalisasi ideologi terorisme, termasuk perekrutan anggota teroris di lingkungan sekolah dan kampus, dapat terhindari.
Program sektoral, baik di bidang keagamaan, sosial, maupun birokrasi pemerintah, juga menjadi penting. Di bidang agama, misalnya, Kementerian Agama perlu lebih berperan aktif melakukan program deradikalisasi.
Melalui Kementerian Agama, termasuk lembaga keagamaan, tokoh agama perlu dirangsang untuk mewartakan ajaran iman dan agama dengan terang akal budi yang sehat.
Kementerian Dalam Negeri juga penting untuk melibatkan pemerintah daerah, dari tingkat provinsi sampai RT, dalam membuat program deradikalisasi yang membumi, tidak sekadar proyek untuk menghabiskan APBD.
Selain itu, program di bidang peningkatan kesejahteraan rakyat dan peningkatan kualitas hidup masyarakat tetap harus dilakukan secara simultan. Sumber daya manusia yang rendah memang menjadi rentan terhadap ideologi radikal, seperti terorisme.
Ketua lembaga swadaya masyarakat Lazuardi Birru—organisasi sosial yang mengampanyekan kebinekaan yang harmonis—Dhyah Madya Ruth mengungkapkan, Lazuardi Birru sedang membangun program deradikalisasi. Program itu antara lain mengembangkan kebijakan ekonomi yang produktif dan inovatif dengan sasaran eks teroris dan keluarganya untuk mengurangi risiko mereka terlibat kembali dalam kegiatan terorisme.
Selain itu, menurut Dhyah, program deradikalisasi yang dibangun Lazuardi Birru adalah reorientasi dan reedukasi terhadap eks teroris dan keluarganya untuk mengubah pola pikir (mindset) mereka secara perlahan-lahan, dengan melibatkan psikolog dan tokoh agama.
”Lazuardi Birru juga berupaya mengembangkan database pelaku terorisme dengan informasi yang terintegrasi dari berbagai institusi aparat penegak hukum”.
Instrumen hukum
Salah satu upaya deradikalisasi sebenarnya adalah membuat ketentuan perundang-undangan yang lebih kuat untuk mencegah dan menindak terorisme. Saat ini penanganan terorisme diatur dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Selain itu, pemerintah juga membentuk badan khusus penanggulangan terorisme dengan Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Dalam perpres itu disebutkan, tugas BNPT adalah menyusun kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang penanggulangan terorisme; mengoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam pelaksanaan dan melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme; dan melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme dengan membentuk satuan tugas.
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto di sela-sela simposium nasional, akhir Juli lalu, mengungkapkan, penanggulangan terorisme di Indonesia harus melibatkan seluruh komponen bangsa. Penanggulangan terorisme bukan hanya terkait tindakan hukum dan represif.
Djoko menambahkan, semakin disadari, penanggulangan terorisme tidak hanya terkait penindakan, tetapi juga terkait aspek lain dan melibatkan instansi lain.

Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2010/08/12/11023250/deradikalisasi.harus.membumi

Rabu, 21 Maret 2012

Padmanagri: Indonesia Terancam Disintegrasi

www.gunadarma.ac.id
Nama : Metha Ardiah
NPM : 24210370
Kelas : 2EB20

 Mantan anggota DPR RI yang tergabung dalam paguyuban mantan anggota DPR RI (Padmanagri) melihat ancaman yang tak kalah mengerikan dari ancaman ekonomi adalah ancaman kekacauan dan disintegrasi bangsa akibat sistem demokrasi.
Sistem demokrasi yang berlaku sekarang sebagai akibat adanya perubahan UUD 45, yang penjabarannya bahkan melebihi pelaksanaan demokrasi di negeri adi daya yang dikenal sebagai kampiun demokrasi dunia.
Demikian dikemukakan Ketua Padmanagri, Moestahid Astari di gedung parlemen, bersama anggotanya Suyanto, Sukoto, Ida, Suwadi, Taufik dan Mansyur.
Moestahid mengatakan, sumber lain dalam situasi politik kita sekarang ini adalah sistem multy party yang lebih banyak memperjuangkan egosentris kelompok daripada memperjuangkan kepentingan rakyat, bangsa dan negara.
Namun terbukti, kata mantan anggota DPR dari Partai Golkar itu, sistem multy party tidak kompatibel dengan sistem presidentil. Ternyata situasi ini tidak cukup memberi ruang bagi kepala pemerintahan  untuk melaksanakan fungsi dan peranannya, karena sejumlah parpol senantiasa siap tawar menawar dalam rangka berbagi kekuasaaan.
"Kesenjangan moral budaya terjadi sebagai akibat penerapan demokrasi liberal. Penerapan demokrasi makin mengarah kepada hukum kekuatan dan kekuatan pasar".
Mantan ketua Fraksi Karya Pembangunan (FKP) itu dari sikap egaliter gampang sekali tergelincir menjadi anarkhis. Situasi seperti ini sangat jelas tergambarkan pada setiap Pilkada di tingkat provinsi maupun kabupaten.
"Inilah yang sedang dialami masyarakat Indonesia. Inilah ongkos sosial politik yang harus dibayar sebagai akibat pergantian sistem politik. Tidak ada lagi aspek pendidikan politik yang bisa diambil sebagai hikmah pembelajaran politik, setelah adanya perubahan konstitusi".
Moestahid mengatakan, menghadapi pemilihan tahun 2009, semua elemen bangsa seharusnya menganggap ini sebagai momentum yang mengandung kesempatan untuk menjawab tuntutan perubahan.

Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2009/01/19/22343678/padmanagri.indonesia.terancam.disintegrasi

Kriminalitas Ekonomi Belum Dapat Perhatian Serius

www.gunadarma.ac.id
Nama : Metha Ardiah
NPM : 24210370
Kelas : 2EB20

 Kriminalitas ekonomi belum mendapat perhatian serius dari pemerintah. Selama ini, kasus-kasus seperti korupsi misalnya, hanya diamati dari aspek hukum dan kriminal. Kalkulasi biaya kerugian-kerugian sosial akibat tindakan korupsi belum dimasukkan.
Demikian dikatakan pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) Rimawan Pradiptyo, sehubungan dengan dibukanya konsentrasi baru di Program Magister Sains Ilmu Ekonomi FEB UGM, yakni Crime Economics atau Ekonomika Kriminalitas. "Ini yang pertama di Indonesia”.
Menurut Rimawan, kalau kriminalitas ekonomi tak mendapat perhatian serius, negara semakin rugi dalam setiap kasus korupsi. Masyarakat juga ikut dirugikan.
"Dalam kasus korupsi, ketika si pelaku tertangkap, biasanya dihukum denda, penjara, dan asetnya disita. Itu sebenarnya baru menyentuh aspek hukum, sama sekali belum mencakup biaya kerugian sosial sebagai dampak tindakan itu.
Kerugian-kerugian sosial tersebut, diterangkan Elan Satriawan, bisa jauh melebihi nilai aset. Misalnya ketika aset milik koruptor disita dan dibekukan negara, perlu diperhitungkan juga nilai rupiah yang bisa ditimbulkan kalau aset itu tidak segera disita.
Biaya-biaya selama proses peradilan, selama ini juga ditanggung negara dan uangnya berasal dari pajak yang dibayar masyarakat.
"Kalau dalam satu kasus saja ada sekian kali proses sidang, kerugian rupiah yang ditanggung negara dan masyarakat. Biaya-biaya yang ini, ya harus dibebankan ke pelaku dong," ujar Elan sambil menambahkan bahwa menghitung kerugian sosial tadi memang sangat rumit.
Kriminalitas ekonomi, lanjut Rimawan, bisa terjadi juga lintas batas negara. Bentuknya seperti pencucian uang, perdagangan manusia, perdagangan obat-obatan terlarang, penggelapan pajak, prostitusi, hingga terorisme.
Kejahatan-kejahatan itu difasilitasi transportasi, komunikasi, dan perbankan yang canggih. Dalam kriminalitas nonekonomi, korban dan pelaku berada di satu tempat secara bersamaan. Namun dalam kriminalitas ekonomi, pelaku dan korbannya bisa berada di tempat berbeda, bahkan tidak pernah bertemu.
Modus operandi diyakini juga semakin canggih sehingga penyidikan dan penelusuran akan tambah kompleks. Fenomena ini membuat tingkat deteksi kriminalitas ekonomi relatif kecil ketimbang kriminalitas nonekonomi. Kondisi ini akan semakin menarik minat pelaku kriminalitas ekonomi.
Menyinggung konsentrasi baru Ekonomika Kriminalitas yang akan dibuka resmi 31 Januari mendatang itu, lulusannya diharapkan mampu memenuhi kebutuhan tenaga ahli bidang kriminalitas ekonomi yang masih amat langka, tak hanya di Indonesia, tetapi juga di internasional.
Elan menambahkan, banyak produk hukum di Indonesia yang perlu diganti agar berperspektif juga dari sisi ekonomi.

Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2009/01/28/20151445/function.simplexml-load-file

Bangkit Dari Keterpurukan Multidimensi

www.gunadarma.ac.id
Nama : Metha Ardiah
NPM : 24210370
Kelas : 2EB20

Tangis duka dan rintih kesedihan terdengar menyayat hati di berbagai pelosok negeri. Di sana ada banyak balita (bayi berumur di bawah lima tahun) meninggal dunia akibat gizi buruk dan busung lapar. Para penderita demam berdarah dengue terus mengalir membanjiri sejumlah rumah sakit. Banyak orang gagal panen dan kehilangan tempat tinggal akibat diterjang banjir bandang yang tak kenal kompromi.
Sederet panjang pelaku usaha mikro dan pedagang kaki lima goreng- gorengan mendadak berhenti berusaha akibat kenaikan harga minyak goreng. Mungkin, tak lama lagi ada jutaan keluarga harus kembali menyulut lampu teplok dan menumpuk kayu bakar karena tak lagi mampu membayar pajak listrik ketika pada saatnya PLN memberlakukan kebijakan insentif dan disinsentif.
Ketika pada waktu yang sama tingkat kemiskinan masih tetap tinggi dan jumlah pengangguran pun terus bertambah, berikut segala dampak yang ditimbulkannya, fenomena sosial dan ekonomi yang menyedihkan di atas menjadi semakin sempurna. Variabel-variabel itulah yang mengakumulasi untuk kemudian mewujud sebagai keterpurukan dalam kehidupan masyarakat kita. Sebuah keterpurukan struktural yang benar- benar semakin rumit dan memusingkan.
Sementara itu, bangsa ini juga dihadapkan pada sosok elite-elite kekuasaan, baik level nasional maupun lokal, yang perilakunya sama sekali berseberangan dengan kondisi riil dan penderitaan masyarakat. Mereka hidup mewah dan berlimpah fasilitas. Kebijakan-kebijakan yang diterapkan selain tidak banyak berpihak ke publik, juga sering justru membuahkan malapetaka.
Pemerintah juga lebih banyak menggelar rapat-rapat dan lebih mengurus administrasi kantor ketimbang bertindak kongkret mengatasi masalah-masalah. Tindakan-tindakan yang dilakukan pun serba bersifat ad hoc dan tidak punya desain yang komprehensif untuk menangani masalah-masalah hingga tuntas.
Anggaran negara dan daerah pun lebih banyak dihabiskan untuk mengongkosi kegiatan-kegiatan yang bersifat politik dan rutinitas birokrasi daripada dialokasikan untuk pemberdayaan masyarakat dan merangsang kagairahan ekonomi rakyat.
Pada waktu yang sama korupsi masih tetap merajalela di seluruh lini pemerintahan. Tak heran jika berbagai hasil survei internasional sampai Februari 2008 masih menempatkan Indonesia sebagai negara papan atas dalam "prestasi" korupsi. Salah satu penyebab utamanya adalah lemahnya penegakan hukum.
Perubahan basa-basi
Hulu dari persoalan itu semua adalah ketika sejak awal reformasi di mana perubahan paradigma politik dan kenegaraan yang berhenti hanya di tingkat kelembagaan dan tidak diikuti dengan perubahan di tingkat aktor sehingga kemudian tidak terjadi perubahan perilaku. Kemajuan kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat pun menjadi tidak terwujud sebagaimana dibayangkan.
Para aktor yang memainkan peran penting di lembaga-lembaga politik pada umumnya adalah aktor-aktor lama hasil didikan Orde Baru dan sudah sangat berpengalaman dalam menata pola permainan dan tipu muslihat. Celakanya, perubahan kelembagaan politik minus perubahan aktor itu ternyata juga lalai untuk melakukan reformasi birokrasi.
Itulah wujud perubahan basa-basi yang berlangsung selama ini. Dan itu membuat negeri ini tidak pernah serius melakukan segala sesuatu. Indonesia kemudian tetap hadir sebagai bangsa yang setengah- setengah dan panas-panas tahi ayam. Kita pun menjadi bangsa yang tak pernah jelas jati dirinya dalam segala aspek kehidupan.
Dalam hubungan ini, barangkali masih relevan apa yang disebut Fred W Riggs (1985) sebagai masyarakat prismatik (prismatic society) ketika menjelaskan proses transisi negara-negara sedang berkembang. Masyarakat prismatik ditandai oleh tiga gejala utama, yakni heterogenitas, formalisme, dan kehidupan yang tumpang-tindih.
Kondisi itu menggambarkan betapa negeri ini tengah mengalami keterpurukan yang dalam dan multidimensi. Akan tetapi, sebagai bangsa yang masih punya harapan dan memiliki sumber daya yang cukup, Indonesia harus bangkit dari keterpurukan itu. Dan, kita perlu memulainya dari level kepemimpinan.
Sosok pemimpin yang berani selalu mengambil inisiatif-inisiatif untuk melakukan perubahan berikut menyiapkan sejumlah perangkat dan alternatif dalam rangka mencapai tujuan. Inisiatif perubahan akan berjalan dengan baik ketika sang pemimpin juga serius dan konsisten melaksanakan ide-idenya dan bertindak tegas disertai tanggung jawab yang tinggi atas segala konsekuensi dari apa yang dilakukan dan terhadap segala yang terjadi.
Hanya dengan kepemimpinan yang berani, serius, dan tegas baik di tingkat nasional maupun daerah negeri ini akan tertolong untuk bangkit dari keterpurukan multidimensi yang kita hadapi saat ini. Singapura, Malaysia, Venezuela, dan Bolivia sekadar contoh negara yang bangkit dari keterpurukan di mana variabel kepemimpinan yang berani, serius, dan tegas telah memainkan peranan penting.
Pada usia 100 tahun Kebangkitan Nasional saat ini, ada baiknya negeri ini melakukan perenungan yang dalam dan berbesar hati melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kondisi riil bangsa. Namun, perenungan dan evaluasi itu bukan sebatas ritual upacara dan sekadar mengenang jasa para pendahulu dan kehebatan sejarah, melainkan perenungan dan evaluasi untuk membangkitkan kesadaran bersama.
Kesadaran yang kemudian menjadi titik tolak untuk tidak terperosok pada lubang yang sama serta berupaya sungguh-sungguh melepaskan diri dari belenggu keterpurukan. Untuk mengejar kemajuan yang membentang di ufuk fajar masa depan.

Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2008/03/18/17193664

Indonesia Masih Terpuruk

www.gunadarma.ac.id
Nama : Metha Ardiah
NPM : 24210370
Kelas : 2EB20

 Seratus tahun setelah Kebangkitan Nasional tahun 1908, Indonesia dinilai belum bangkit dari keterpurukan. Ini terbukti dengan kegagalan bangsa Indonesia menegakkan keadilan sosial dan demokrasi.
Ahli filsafat Franz Magnis-Suseno SJ mengemukakan itu pada seminar nasional Satu Abad Kebangkitan Nasional Indonesia ”Inteligensia Indonesia” di Universitas Parahyangan, Bandung. Menurut Franz, keberadaan bangsa Indonesia kini cenderung mengalami stagnasi terutama di bidang demokrasi dan keadilan sosial.
”Bangsa Indonesia harus menghadapi krisis pangan dan bahan bakar minyak (BBM). Ironisnya negara ini begitu kaya akan sumber daya alam. Ditambah pula kini kebebasan beragama di Indonesia semakin mengalami kemunduran.
Menurut Franz, berbagai permasalahan yang dihadapi bangsa ini berakar pada ketidakkuatan pemimpin bangsa Indonesia dalam menegakkan hukum dan keadilan sosial. Oleh karena itu, Indonesia dinilai membutuhkan pemimpin yang memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat dan tegas.

Dalam kemunduran
Sementara itu, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom berpendapat bangsa Indonesia saat ini juga berada dalam kemunduran. Pada saat negara-negara Asia Tenggara lain menempati daya saing global pada posisi di atas 48 dari 131 negara, Indonesia hanya mampu bertengger di nomor 54, atau 23 posisi di bawah Malaysia.
Miranda menilai, keterpurukan ini berakar pada ketiadaan visi bangsa yang dirumuskan tanpa mengedepankan aspek ilmu pengetahuan yang inovatif. ”Singapura membasiskan visi bangsanya pada masyarakat yang berbasis ilmu pengetahuan, begitu pula Malaysia yang mendasarkan ekonominya pada ilmu pengetahuan.
Miranda mengutip Yayasan Indonesia Forum 2007, dikatakan visi Indonesia 2030 menjadi negara unggul dalam pengelolaan kekayaan alam, ditopang dengan pencapaian menjadi lima negara besar dalam kekuatan perekonomian dunia, dan mewujudkan kualitas hidup modern yang merata.
Menurut Miranda, visi itu terlalu muluk dan tidak nyata karena Indonesia menargetkan tanpa mengukur kemampuan diri. ”Indonesia tidak memiliki dasar apa-apa, seperti ilmu pengetahuan yang harus dijadikan fondasi bangsa, tetapi menargetkan sesuatu yang begitu tinggi..
Guru besar filsafat Universitas Parahyangan Bambang Sugiharto mengemukakan, di tengah kekisruhan di bidang politik ekonomi dan keadilan sosial seperti ini, Indonesia masih harus menghadapi beberapa tantangan. Tantangan itu antara lain tantangan globalisasi, tantangan keapatisan masyarakat terhadap penegakan hukum internal, dan tantangan keegoisan setiap individu.
Franz menambahkan, tantangan Indonesia lebih mengarah kepada tantangan kepicikan rasa kedaerahan, budaya hedonis, dan eksklusivisme keagamaan.
Bambang dan Franz berpendapat, masalah stagnasi bangsa pascaseabad Kebangkitan Nasional ini dapat dipecahkan dengan adanya komitmen yang kuat dari semua pihak untuk menegakkan demokrasi dan keadilan sosial, melalui pengembangan sikap toleransi antar individu.

Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2008/05/11/15285764/

Presiden: Dana KUR Ditingkatkan Menjadi Rp 15 Triliun

www.gunadarma.ac.id
Nama : Metha Ardiah
NPM : 24210370
Kelas : 2EB20

 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan bahwa program penyaluran penjaminan kredit melalui perbankan yang disebut kredit usaha rakyat atau KUR jumlahnya akan ditingkatkan menjadi dua kali lipat tahun ini, dari sebelumnya Rp 6,8 triliun menjadi Rp 15 triliun. Pada tahun depan, pemerintah akan meningkatkan kembali jumlahnya.
Demikian disampaikan oleh Presiden Yudhoyono saat membuka Pekan Produk Budaya Indonesia (PPBI) di Jakarta Convention Center.
”Program KUR seperti yang disampaikan Menko Kesra Aburizal Bakrie akan terus dikembangkan. Kalau sekarang sudah mencapai Rp 6 triliun lebih, saya ingin tahun ini kita tingkatkan terus sampai dengan sekitar Rp 15 triliun. Tahun depan, KUR akan kita tingkatkan kembali agar bisa mendorong ekonomi kreatif di tingkat usaha kecil.
Genjot ekonomi kreatif
Menurut Presiden Yudhoyono, program KUR dalam menggenjot ekonomi kreatif masyarakat Indonesia tidak semata-mata dilihat dari keuntungan ekonomi belaka, tetapi juga dari aspek budaya bangsa, warisan bangsa.
Lebih jauh Presiden Yudhoyono mengajak komponen bangsa untuk mengembangkan ekonomi kreatif yang berbasis warisan budaya bangsa. Dengan potensi sumber daya alam yang kuat, bangsa Indonesia diyakini bisa mengembangkan ekonomi yang kuat.
”Mengembangkan ekonomi kreatif akan bisa mengembangkan perekonomian Indonesia. Dengan potensi sumber daya alam yang bisa kita tingkatkan, kita bisa mengembangkan perekonomian.
Namun, kata Presiden, untuk membuat negara yang maju pada abad ke-21 dibutuhkan tiga syarat, yaitu kemandirian bangsa, daya saing, dan peradaban yang harmonis.
Hadir dalam acara tersebut Pelindung dan Ketua Umum Dewan Kerajinan Nasional Ny Ani Bambang Yudhoyono dan Ny Mufidah Jusuf Kalla serta sejumlah menteri Kabinet Indonesia Bersatu.
Kali ini, Pekan Produk Budaya Indonesia bertema ”Warisan Budaya Bangsa Inspirasi Ekonomi Kreatif Indonesia”.
Program KUR digulirkan Presiden Yudhoyono pada November 2007. Plafon kredit tersebut sebesar Rp 500 juta. KUR merupakan kredit program yang disalurkan dengan menggunakan pola penjaminan.
Kredit ini diperuntukkan bagi pengusaha mikro dan kecil yang tidak memiliki agunan tetapi memiliki usaha yang layak dibiayai bank.
Pemerintah menyubsidi KUR dengan tujuan memberdayakan pengusaha mikro dan kecil. Agar tidak memberatkan debitor, suku bunganya dipatok maksimal 16 persen per tahun.

Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2008/06/05/01145724/presiden.dana.kur.ditingkatkan.menjadi.rp.15.triliun

Indonesia-OECD Tuntaskan Survei Ekonomi

www.gunadarma.ac.id
Nama : Metha Ardiah
NPM : 24210370
Kelas : 2EB20

Menteri Keuangan, Agus Martowardojo, dan Sekretaris Jenderal Organization for Economic Co-operation and Development atau OECD, Angel Gurria, meluncurkan laporan Review Kebiajakan Investasi Indonesia dan Laporan Survei Ekonomi 2010.
Laporan ini antara lain menghendaki adanya peningkatan upaya penegakan kepastian hukum dan kebijakan investasi, serta usaha mengurangi hambatan bagi investasi asing ke Indonesia.
Peluncuran kedua laporan ini dilakukan di Jakarta, yang juga disertai penandatanganan nota kesepahaman serta enam buku laporan survei dan review tersebut oleh Agus Martowardojo dengan Angel Gurria.
"Ini adalah survei yang pertama dilakukan atas dua hal pada saat yang sama dilakukan di satu negara. Ini melanjutkan kerja sama yang sudah dilakukan sejak lama dengan OECD.
Review ini mencakup delapan area kebijakan yang di-review, yakni pertama, tren kebijakan investasi dan investasi asing di Indonesia. Kedua, kebijakan investasi. Ketiga, promosi dan fasilitas investasi. Keempat, kebijakan kompetisi. Kelima, perkembangan infrastruktur.
Keenam, perkembangan sektor keuangan. Ketujuh, tata kelola sektor publik. Delapan, aspek lain dari kerangka kebijakan untuk investasi (kebijakan perpajakan, kebijakan perdagangan, tata kelola perusahaan, dan aturan tentang tanggung jawab perusahaan).
"Meski banyak yang akan menjadi area kebijakan, tetapi saya hanya fokus pada tiga indikator paling penting, yakni pertama, anggaran publik yang diarahkan pada kebijakan yang pro growth, pro-poor, dan infrastruktur. Kedua, pengembangan pasar tenaga kerja. Ketiga, investasi dalam jumlah besar dan infrastruktur.
Adapun laporan survei ekonominya sendiri merupakan laporan kedua yang disusun OECD untuk Indonesia, sejak laporan survei ekonomi pertama pada tahun 2008.
Laporan survei kali ini mengungkapkan empat isu pokok yang dihadapi Indonesia, yakni pertama, pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Kedua, subsidi energi. Ketiga, infrastruktur. Keempat, kebijakan sosial.
Rencananya, survei dan review ini akan dilanjutkan setiap dua tahun sekali.

Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2010/11/01/10475055/Indonesia.OECD.Tuntaskan.Survei.Ekonomi

Kejar Pertumbuhan Ekonomi, Indonesia Perlu Reformasi Hukum

www.gunadarma.ac.id
Nama : Metha Ardiah
NPM : 24210370
Kelas : 2EB20

Indonesia perlu bekerja keras untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi yang dipatok sebesar 7 persen pada 2014. Direktur Economist Corporate Network Ross O'Brien menyatakan, target ini bisa dicapai apabila Pemerintah Indonesia melakukan reformasi dan restrukturisasi di bidang perbaikan institusi dan lingkungan hukum guna menggalakkan investasi di sektor infrastruktur publik.
"Meski Indonesia kini melangkah dengan pasti, ada banyak aspek dari perkembangan Indonesia yang membutuhkan reformasi dan restrukturisasi yang sungguh-sungguh".
O'Brien memperkirakan, produk domestik bruto (GDP) Indonesia bakal tumbuh 5,6 persen pada tahun ini, menyusul pulihnya ekonomi negara-negara Asia lainnya. Proyeksi ini lebih tinggi dibandingkan asumsi pemerintah yang hanya mematok pertumbuhan PDB dalam RAPBN Perubahan 2010 sebesar 5,5 persen.
"Economist Intelligence Unit memprediksi bahwa PDB Indonesia akan tumbuh 5,6 persen tahun ini," kata O'Brien. Adapun untuk 2011, diperkirakan PDB bakal tumbuh mencapai 5,9 persen.
Lebih jauh, O'Brien memaparkan bahwa pada 25 Maret 2010, pihaknya bakal menggelar forum yang mempertemukan lebih dari 100 pemimpin bisnis dan pejabat pemerintahan untuk melakukan diskusi secara terbuka. Acara yang bernama Indonesia Summit itu akan dihadiri oleh Wakil Presiden Boediono, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, Menteri Perindustrian MS Hidayat, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Gita Wirjawan, dan pelaku industri.

Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2010/03/24/11033886/function.simplexml-load-file